Beberapa insan mulai mempersiapkan gema asma tuhan saat malam kemenangan akan tiba. Masjid dan musholla mulai kembali pada pemandangan bentuk semula. Era pandemi, tak menghalagi pusat perbelanjaan oleh desakan jiwa-jiwa. Tak hanya itu, koleksi furniture, kostum dan kuliner turut dikoleksi tak seperti sebelum-sebelumnya. Ya, setidaknya empat hal ini adalah indikasi rutinan, bahwa bulan suci Ramadhan akan pergi meninggalkan. (Ya, ng gak?)
Malam ini sengaja saya tidak solat Tarawih ditempat bisa mendirikan. Ada alasan tentunya diri bertindak demikian, “momen terakhir plus ada traktiran dari teman” setidaknya sudah menjadi maghnet, mengapa diri tergiur untuk meninggalkan kampung halaman.
Singkat cerita, disaat jamaah telah usai, saya sempatkan bincang-bincang dan bertanya ke satu-dua teman, pun segelintir orang yang baru kenal. “Sepertinya senang sekali pak berjamaahnya, rapi lagi?” tanyaku dengan senyuman, sembari menjulurkan tangan menuju wadah hidangan. “Ya harus lah nak, sebentar lagi bulan Ramadhan akan berakhir” dia berhenti sejenak lalu melanjutkan “kita bisa makan kapanpun, tak akan lapar lagi, tak capek-capek tarawih lagi” tanggapnya dengan iringan ketawa lirih bersama teman disampingnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa kita -apalagi penulis- juga ‘sedikit’ merasakan hal yang sama layaknya fakta cerita singkat diatas. Namun sejatinya, hal ini kurang mencerminkan sebagai pemeluk agama mulia ini. Bahkan dengan bahasa yang lebih tegas, hal itu “harus dihindari!”. Ramadhan yang tak perlu diragukan lagi kemulia’annya oleh setiap insan, kehadirannya yang jauh-jauh hari begitu diharap dan dinanti-natikan. Saat bulan agung ini mulai menutup diri, justru malah tak dicemaskan bahkan tak jarang menimbulkan bercak rasa senang.
“Ini mah opini semata yang semua orang bisa merangkainya” mungkin pembaca harus buang jauh-jauh asumsi seandainya terlintas seperti ini. Mengintip catatan Ibnu Rajab al-Hambaly dalam karyanya Lataitul Maarif, bahwa konon ketika bulan suci Ramadhan akan berakhir, Baginda nabi, para sahabat, dan salafunassolih terus meningkatkan semua amaliyah kebaikannya. Mereka selalu tersedu-sedu dalam doa, khawatir segala amal tidak diterima disi-Nya. Berharap masih bisa dipertemukan kembali pada bulan mulia. Serta tak henti-henti mengemban kesedihan saat detik-detik bulan turunnya Al-Qur’an ini hendak pergi dari tengah-tengah mereka.
Termasuk catatan ulamak kelahiran Baghdad itu;
قال بعض السلف كانوا يدعون الله ستة اشهر ان يبلغهم شهر رمضان ثم يدعونالله ستة اشهر ان يتقبله منهم
"Sebagian ulamak salaf berkata, dahulu mereka (para salaf) senantiasa berdoa kepada Allah SWT selama enam bulan, agar mereka disampaikan pada bulan suci Ramadhan. Kemudian mereka berdoa pula dalam kurun waktu yang sama, agar Allah SWT menerima segala amaliahnya” (Subahanallah, teramat mulia sikapnya).
Lintas generasi membuat tradisi-tradisi mulia itu terkikis perlahan-lahan. Tempo dulu saat zaman nabi ‘kesedihan dan kebaikan’ begitu dioptimalkan, diera kita justru saat Ramadhan akan menyusut, banyak yang cuek bukan kepayang dan tak ayal terus disibukkan dengan gemerlap atribut-atribut hari kemenangan. Dan disaat umat-umat terdahulu, ulama’, salafunassolih begitu sedih, cemas, khawatir tidak bisa bersua kembali dengan bulan suci, generasi saat ini malah dengan santainya terdiam sepi, bahkan tak jarang ‘rasa senang’ diadopsi.
Sebelum keekor paragraf, ada sebuah kisah non fiksi prihal akhir bulan suci Ramadhan, yang penting untuk menjadi bahan renungan. Suatu ketika Al-Insanul Kamil ‘Rosulullah’ bersama para sahabat berkumpul disuatu tempat. Singkatnya dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir itu, baginda bersabda; “Saat tiba akhir bulan Ramadhan, semua para malaikat bahkan ‘langit dan bumi’ menangis meratapi ‘musibah’ yang akan terjadi kepada umat Rosulullah”
Sontak sahabat bertanya, setelah sabda mulia beliau terdengar pada mereka “apakah musibah itu wahai baginda?” lalu nabi menjawab “musibah itu adalah ‘berakhirnya bulan Ramadhan’. Karna dibulan ini, semua doa dikabulkan, kebaikan dilipat gandakan dan setiap sadaqoh diterima disisi Allah SWT”.
Ala kully hal, kita cukup memainkan logika sederhana, bahwa “disaat hamba-hamba tuhan yang selalu taat dan jauh dari kata “maksiat” begitu meratapi dan sedih yang mendalam dengan kepergian bulan terbaik ini, lah kita ‘manusia’ yang selalu plepotang dengan kesalahan dan dosa-dosa setiap saat, masak ‘setetes’ pun tak ada kegundahan saat bulan agung ini hendak beranjak?”.
Terima kasih.
Semoga segala amal kita diterima disi-Nya. Bisa bersua kembali dibulan suci Ramadhan berikutnya. Dan satu lagi, semoga ‘pandemi’ yang mencekam ini segera berakhir dan sirna.