Bismillah
Semua orang pernah merasakan cinta. Entah cinta kepada anak atau kepada sang pasangan hidup ataupun kepada Sang Maha Cinta Allah SWT. Hakikat cinta tetaplah satu, namun terkadang cinta disalah-pahami ketika kepada siapa cinta itu diberikan. Cinta kepada pasangan biasanya dimaknai sebagai hasrat seksual, ketertarikan, keinginan untuk memiliki dan sebagainya. Jika cinta dimaknai sedemikian, lalu mungkinkah itu adalah makna cinta yang juga diterapkan kepada seorang anak? Tentu bukan, berarti hasrat seksual dan apa yang tadi disebutkan bukanlah makna cinta. Lalu apakah sebenarnya makna cinta?
Cinta menurut hemat penulis adalah bentuk ekspresi dari rasa ingin memberi kebahagiaan kepada seseorang. Karena cinta didefinisikan sebagai bentuk, maka cinta merupakan pekerjaan aktiv yang menuntut adanya kreativitas dari sang pecinta, berbeda dengan cinta ketika didefiniskan sebagai rasa. Rasa itu bersifat pasif. Sehingga perasa akan hanya diam menerima rasa tersebut. Meski begitu cinta tetaplah didasari dari suatu rasa yang timbul dari hati. Rasa yang mendasari cinta adalah rasa ketertarikan, kekaguman, merasa yang dicinta adalah bagian dari hidupnya dan sebagainya.
Dari rasa ini akan muncul dua kemungkinan ekspresi pertama ego dan yang kedua cinta. Oleh karena itu, ego adalah musuh besar dari cinta. Ketika seseorang mendefinisikan cinta sebagai rasa ia akan mudah terjebak dengan sifat ego. Selalu keinginan dirinya yang diperturutkan. Aku ingin kau selalu disisiku, aku ingin kau menjadi milikku, aku, aku dan aku. Kedengarannya ini adalah cinta pada biasanya manusia kita modern. Namun nyatanya ini semua tidak dapat dikatakan sebagai cinta. Semua ini hanyalah ego yang muncul dari rasa tadi. Jadilah muncul kekecewaan ketika keinginan ego tidak terturuti. Ego dalam dunia islam biasanya dikenal dengan nafsu. Namun ketika rasa tadi diekspresikan sebagai cinta. Perasa akan merasa dirinya hilang. Tujuannya adalah orang yang dicinta bahagia meski dengan meninggalkannya. Ia akan selalu menginginkan dirinya agar tidak menginginkan. Nafsunya lebur bersama cinta.
Pecinta akan selalu percaya dengan yang dicinta dengan kepercayaan yang tidak pernah merasa dihianati. Meski yang dicinta pergi meninggalkan, pecinta tidak akan merasa dirinya kecewa, karena tujuan akhirnya adalah kebahagiaan orang yang dicinta. Derita seorang pecinta adalah kebahagiaannya, karena itu tiada rasa derita baginya. Segalanya terasa indah. Oleh karenanya Al quran pun menyebut pecintanya yakni para wali-walinya sebagai berikut
{أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ} [يونس: 62]
“ ingatlah sesungguhnya wali-wali allah tidak memiliki rasa takut (khawatir karena percaya total) dan rasa sedih” (tafsir sendiri)
Dalam mengekspresikan cinta dibutuhkan akal untuk menilai, apakah tindakan yang dilakukan benar-benar dapat membuat ia bahagia? Sebagai contoh ketika yang dicinta melakukan kesalahan, akankah pecinta dengan cintanya tetap membenarkan tindakannya ataukah ia akan mengingatkan yang dicinta agar memperbaiki kesalahannya? Tentu akal kita memilih tindakan yang kedua, yakni mengingatkannya. Dari sini cinta juga akan menimbulkan sikap peduli kepada yang dicinta.
Intinya kalau boleh meminjam istilahnya Faiq (temenku) yang katanya mengutip dari Al Ghozali. hati-hatilah dengan akal namun akal-akalah dengan hati.
Namun kita akan bertanya, mengapa kita harus mencinta? Tiada lain agar mengembalikan cinta kita kepada Sang Maha Cinta. Ketika kita merelakan yang dicinta pergi yakinlah bahwa Sang Maha Cinta akan mengganti dengan hal yang lebih baik. Tuhan selalu memberi tak pernah mengharap kembali. Bukankah itu juga cinta? Kemudian rasakanlah sebenarnya siapakah yang seharusnya dicinta? Bukankah orang yang paling mencintai kitalah yang seharusnya kita cinta? Oleh karena itu, ketulusan cinta pasti akan menghadirkan cinta-cinta baru yang tak terhingga. Cintailah tuhan dengan mencintai semesta niscaya semesta kan mencintaimu, karena tiada yang tercela dalam kata cinta.
Selamat mencinta....
dhani