Desas-desus akhir zaman dan kisah pemuda yang begitu berkesan.



Desas-desus akhir zaman dan kisah pemuda yang begitu berkesan.

Ramadhan kali ini benar-benar berbeda dengan bulan suci sebelumnya. Walau tak mengurangi keberkahannya, publik tak bisa menutup mata saat hal-hal krusial menegangkan datang tanda permisi. Mulai dari fenomen alam secara silih berganti, pandemi wabah yang tak kunjung terbasmi, sampai dengan warta-warta akhir zaman mencekam turut hadir melengkapi.
Semenjak awal bisa mengoperasikan media sosial kira-kira sebulan yang lalu, tak jarang saya dilempar opini dan pertanyaan-pertanyaan gamblang seputar kebenaran akhir zaman. “Apakah Ramadhan ini atau bukan?” demikian chat yang sering terlontar dari netizen. Alhamdulillah disamping tanggapan dangkal dari saya, banyak media dan sumber-sumber terpercaya memberi wadah efektif untuk menaggapi datangnya fenomenya yang sekali lagi begitu mencekam itu.
Gegana (gelisah-galau-merana) pasti -apalagi diri yang belum merasakan gemetarnya ijab qobul nikah- dirasakan semua kalangan. Wajar memang, naluri manusia memang sulit terelakan. Tetapi yang menjadi miris dari saya pribadi saat beberapa insan (didaerah sendiri khusnya, dan mungkin juga didaerah pembaca) berucap dan bertindak bukan karekter agama nabi mengenai kabar-kabar yang kurang berakar ini.
(Masih seputar curhatan pribadi) Saat diri terjun keberapa tempat untuk dakwah kecil-kecilan -tapi tidak sering-, pun melalui media, tak jarang respon publik tak sama dengan ekspektasi diri sebelum menjajal xtreame nya medan. “Saya mau berubah sudah terlajur nak, toh walaupun ditimbang nanti, jauh lebih banyak ‘hitamnya’” ungkap beberapa kalangan dengan diksi yang saya telah ubah bahasanya. O Iya, salah satu imbuhnya saat diri akan bergegas pergi “apalagi hidup sudah tak lama lagi nak, ‘hampir kiamat kan?” lengkap dengan iringan tawa lirihnya.
Desas-desus akhir zaman memang tak jarang masyarakat dibuat heboh dan ‘salting’. Penasaran plus kecemasan “jangan-jangan terjadi bulan suci ini?” selalu tampak disana-sini. Setelah mendengar penjelasan dari ulamak dan guru-guru, tampaknya tak perlu terlalu ketakutan terhadap fenomena ini, toh seandainya dibulan suci ini sebagaimana digambarkan hadis yang kurang autentik itu terjadi, sekali lagi yang harus di ingat dan diaplikasikan bahwa “tak ada kata telat untuk taubat”.
Ya, dari pada cemas dan kesana-kemari membagikan warta-warta akhir zaman, mari bersama-sama (khususnya diri sendiri) mempersiapkan bekal untuk menghadap ilahi. Dan tentu ini jauh lebih penting dilakukan semua insan. (maaf, penulis bukan hendak ceramah).
Dengan mengulang diparagraf sebelumnaya bahwa perubahan dari ranah hitam (bertaubat) kapanpun masih terbuka lebar bagi siapapun. Kabar-kabar yang belum tentu teraplikasi wujudnya bukan alasan untuk kembali fitrah, tanpa harus menunggu kumandang hari kemenangan. Bukankah para kia dan tokoh-tokoh sering mengutip hadis yang menunjukkan bahwa taubat seorang hamba akan diterima sebelum nyawa dikerongkongan? dan bukankah dalam riwayat lain bahwa taubat seorang hamba akan diterima sebelum matahari terbit dari barat? sekali lagi mari cerdas-cerdas mengkonsumsi warta dan bagaimana tips terbaik untuk meresponnya.
Setelah perbincangan dialihkan pada prihal taubat -walau diri sendiri entah kapan sempurna taat- saya teringat sebuah hadis saat mengaji dan saat para guru menceritakan berulang kali kisah yang menurutku begitu berkesan itu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id bin Malik bin Sanan al-Qudri tersebut Rosulullah menceritakan kepada para sahabat bahwa pada zaman Bani Israil, ada seorang laki-laki gagah perkasa yang telah membunuh 99 manusia.
Suatu hari laki-laki tangguh ini bertanya tentang orang paling alim dimuka bumi kala itu. lalu ditunjukkanlah kepadanya seorang pemuka pendeta. Maka ia pun mendatangi sang pendeta dan berkata “aku telah membunuh 99 jiwa, apakah masih ada taubat bagiku?” “Tidak” jawab sang pendeta tanpa banyak kata. Seketika pemuda tersebut menebasnya, hingga genaplah 100 nyawa ia mangsa.
Pada kesempatan berikutnya sang pemuda tangguh itu bertanya kembali tentang orang paling alim dimuka bumi. Dengan kejadian yang tak jauh beda dengan sebelumnya, ditunjukkanlah kepadanya seorang alim. Dengan kata tanya yang sama “aku telah membunuh 100 jiwa, apakah masih ada taubat bagiku?” Sang alim tak sama dengan pendeta yang telah musnah di tangan pemuda. “Tentu masih ada, siapa yang menghalangimu untuk bertaubat kepada-Nya?” jawab sang alim dengan tenangnya.
Ia (sang alim) melanjutkan “pergilah ke daerah ini (dalam taks hadis tidak disebutkan tempat kongkritnya), karena sesungguhnya di sana terdapat orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada-Nya bersama mereka. Dan kamu jangan kembali ke negerimu, karena negerimu adalah tempat yang buruk dan biadab”
Mengikuti petunjuk sang alim, laki-laki pembunuh 100 nyawa itu berangkat penuh semangat pada tempat ia akan berubah taat. Tiada duga sebelumnya, sang laki-laki meninggal ditengah perjalanan menuju tujuan. Seketika turunlah Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab, berikut perselisihan dan perdebatan dari dua hamba mulia ini.
Kata malaikat rahmad bahwa laki-laki itu termasuk golongannya karna meninggal dalam jiwa sedang menuju kepada kebaikan dan husnul khatimah, sementara kata Malaikat Azab laki-laki itu termasuk golongannya dan tak pantas dalam golongan ‘putih’ dengan alasan ia tak pernah melakukan secuil kebaikan. Maka datanglah malaikat ketiga dalam wujud seorang manusia sebagai penengah dari duanya. Lalu ia memerintah “ukurlah antara jarak kedua negeri tersebut (negerinya yang bejat dan negeri tujuan untuk taat). Ke arah negeri mana yang lebih dekat, maka dialah yang berhak membawanya”
Lalu kedua malaikat mengukurnya, dan ternyata mereka dapatkan bahwa laki-laki itu lebih dekat kepada negeri tujuannya untuk bertaubat. Maka malaikat Rahmadlah yang berkak membawanya, sehingga laki-laki pembunuh 100 jiwa yang belum sempat bertaubat tersebut termasuk golongan surga.
Ala kulli hal, ikhtiar dan waspada harus, tetapi tak perlu terlalu menghebohkan desas-desus yang tak ada yang tau kapan persisnya, “qullu nafsin daiqotul maut” jika sudah saatnya, maka seribu cara tak bisa untuk menghelaknya. Semangat untuk hijrah mencebur dalam lautan ketaatan. Tak perlu melirik tata “telat” walau himpunan dosa terasa bertingkat-tingkat.
Terimakasih.
Semoga pandemi cepat usai,
dan semoga kita semua termasuk golongan yang husnul khatimah.


                                                                                                                                           Penulis,
                                                                                                                                            

                                                                                                                                           Fauzan ardiansyah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak