Kenang kembali, bagaimana "Nuzulul Qur’an" terjadi.

Kenang kembali, bagaimana "Nuzulul Qur’an" terjadi.







Disaat dekadensi moral anak cucu adam semakin hari kian memprihatinkan, kelamnya persaingan dalam segala lini makin tak terelakan, pengaruh globalisasi yang begitu pesat terus mencemaskan, namun tidak dengan resistensi citra “Al-Qur’an” yang tetap kokoh bersinar sebagaimana tuhan menjanjikan. Terbukti disaat segelintir manusia biadab datang merongrong dan menistakan, secara spontan pembelaan datang dari segara penjuru tanpa harus diseru dan diwartakan.
Dengan sejuta keagungannya, Al-Qur’an setiap saat selalu mendapat animo kuat dari semua lapisan masyarakat muslim, bahkan yang bukan. Tetapi yang jamak mereka ketahui hanyalah pengertian dan keutamaan kitab suci ini secara gamblang dan adopsi wawasan dangkal. Nah, karna beberapa jam lagi tak jarang dibetapa tempat terlihat peringatan untuk kitab suci, mari kita bahas secercah seputar hal yang berkaitan dengan mukjizad terbesar baginda nabi ini.
Tanpa penulis harus tampilkan definisi dan keutama’an-keutama’an kitab suci, pembahasan akan dikhusukan pada turunnya kalam ilahi, atau yang lebih dikenal dengan term (istilah) “Nuzulul Qur’an” oleh hampir semua kalangan. Peringatan dari yang lumrah sampai dengan prosesi yang begitu mewah tak jarang terlihat dibebarapa daerah. Di serambi mekah ‘Aceh’ misalnya. Saat menjelang detik-detik malam Nuzulul Qur’an, warga setempat begitu antusias dengan membagi-bagikankan kuliner khas daerahnya kepada warga sekitar, spesial guna menyambut dan memeriahkan setiap kali malam yang begitu agung itu tiba. Ini hanya sebagian sampel, dan kita bisa saksikan diberbagai tempat sesuai dengan bagaimana mempoles sebuah acara.
Berbeda dengan kitab suci lain -apalagi karya lebai dari penulis dingin akhir-akhir ini-, Al-Qur’an dalam proses turunnya memang bisa dikatakan unik dan mengandung ragam daya tarik. Mayoritas ulamak sepakat bahwa kitab suci ini tidak turun sekaligus kepada baginda nabi, melainkan secata proses dan tahapan-tahapan yang penting untuk dicermati. Syeh Muhammad Khudori Bek dalam karyanya Tarikh Tasyrik al-Islamy menyebutkan bahwa Al-Qur’an turun dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari. Dimulai sejak 17 Ramadhan yang terhitung dari tahun 41, hingga 9 Dhulhijjah tahun 63 dari kelahiran nabi atau sama dengan 10 hijriyah.
Dengan penyajian lebih lengkap, bahwa kalam mulia ini turun dalam tiga tahap. Pertama; Al-Qur’an turun sekaligus dari Allah SWT ke Lauhul Mahfudz. Kedua; turun dari Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah (langit dunia). Dan yang ketiga; Al-Qur’an diturunkan dari Baitul Izzah ke dalam hati Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril secara proses berangsur-angsur. Disisi yang berbeda bila dilihat dari masa turunnya, periode Al-Qur’an terbagi menjadi dua. Pertama periode Makkiyah yaitu dari tahun 41 sampai permulaan Rabiul Awwal tahun 54 dari tahun kelahiran nabi. Dan yang kedua adalah periode Madaniyah yaitu dari permulaan Rabiul Awwal tahun 54, sampai 9 Zulhijjah tahun 63 dari kelahiran nabi atau sama dengan 10 Hijriyah. (sehingga bila dijumlahkan, sama dengan stateman paragraf sebelumnya).
Proses turunnya Al-Quran -lagi-lagi saya harus katakan- memang tidak turun secara seketika, layaknya beberapa hasil karya lainnya. Di masa baginda tempo dulu, ada 3 ragam bentuk bagaimana kitab suci ini hadir pada nabi. Adakalanya dengan cara ilham, proses ini terkadang nabi keadaan terjaga maupun tidur dengan mulianya. Kedua secara langsung, psoses ini beliau alami saat pelaksanaan Isro’ Mi’roj (dimana beliau menerima langsung dari Allah tanpa perantara Malaikat Jibril). Dan yang ketiga -ini yang sering dialami- beliau menerima melalului Malaikat Jibril dan tentu secara skala dan proses yang berangsur-rangsur. Jibril menyampaikan wahyu berupa ‘makna’ kemudian baginda mengunggapkan dengan ‘lafat’ dari lisan mulianya.
Kembali pada seputar Nuzulul Qur’an, bahwa dewasa ini -pun beberawa waktu yang telah terlewati-, waktu peringatan momentum agung ini hampir serentak dilakukan pada tanggal 17 Ramadhan. Namun sejatinya, pada tanggal ini bukanlah waktu turunnya kalam suci secara haqiqi. Sebagian ulamak diantaranya Imam Al-Qurtuby dalam tafsirnya mengatakan, bahwa malam Nuzulul Qur’an belum dipastikan turun pada tanggal 17 Ramadhan. Karena salahsatu alasan beliau bahwa ‘isim dhamir’ pada ayat “inna anzalnahu fi lailatin mubarokah” kembali pada ‘Lailatul Qadar’. Nah, sementara Lailatul Qadar sendiri tak ada yang tau kapan terjadinya. Bahkan sebagian riwayat mengatakan bahwa malam seribu bulan ini lebih cenderung terjadi pada sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan. Sehingga -sekali lagi- malam Nuzulul Qur’an, ini tidak dipastikan turun pada tanggal 17 Ramadhan. (itu kata sebagian ulama').
Namun tak perlu timbul diksi tanya, apalagi kritik pedas yang begitu mewahana dari waktu ini. Karna angka 17 yang menjadi pilihan ‘orang-orang kita’ (apalagi dinusantara khususnya) bukan tanpa alasan yang menjadi pijakan untuk kemudian mereka aplikasikan. Dikisahkan bahwa konon -kata sebagian ulamak- saat baginda nabi diusianya saat memasuki 41 tahun, beliau mendapat wahyu pertama kali berupa surat ‘Al-Alaq’ di Gua Hira’ dan kebetulan waktu itu bertepatan pada tanggal seperti berlangsunya perang badar itu (17 Ramadhan). Sehingga tak jarang pemandangan dibeberapa tempat, secara rutiniras perayaan agung tahunan itu dilaksanakan pada tanggal 17 Ramadhan.
Setelah mengetahui bagaimana proses turun dan semerbak perayaannya, tak lengkap rasanya momentum spesial ‘Nuzulul Qur’an’, tanpa amalan dan rutinan yang perlu ketahui dan diaplikasikan. Ulamak dan beberapa guru sering menginggung hal-hal penting yang tak layak ditinggalkan oleh muda-mudi Islam ini. Tanpa harus penulis menyebutkan secara rinci (amalan dan rujukannya yang terpercaya), dalam malam agung ini umat Islam dianjurkan untuk lebih meningkan hal-hal yang yang bernuansa kebaikan. Memperbanyak sedekah, solat sunnah, zikir-zikir agung, hatmil quran dan beragam aksi-aksi mulia lainnya, yang sekali lagi sangat pantas dikatakan “penting untuk dilakukan”.
(Tanpa harus penulis tambah paragraf kembali), mari ketika dunia saat ini berduka dengan segara laranya, hembusan warta-warta tak layak konsumsi semakin pesing ditelinga. Jadikan malam agung nan spesial ini sebagai tempat berteduh kepada-Nya. Dan sekali lagi, banyak-banyaklah memohon dan berdoa, “karena usaha, sering tak selaras dengan apa yang kita kira”.




                                                                                                                   penulis,



                                                                                                                   Fauzan ardiansyah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak